Wednesday, December 15, 2010

Lautan Abu-abu yang Menyentuh Rasa Kemanusiaan

seorang ibu yang berjualan di kawasan terdampak Merapi


Pangukrejo, 15 Desember 2010

Jika seseorang pergi ke tanah suci untuk tersentuh hatinya agar lebih dekat dengan Tuhan. Maka jika pergi ke daerah bencana jangan hanya melihat-lihat saja. Sebab di sebuah tempat bencana, kita akan lebih menggali rasa kemanusiaan untuk lebih dekat dengan manusia lain.

Menyaksikan suasana lereng Gunung Merapi saat ini, terutama di Desa Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak menyangka jika tempat tersebut pernah menjadi saksi bisu hilangnya ratusan nyawa akibat awan panas di penghujung Oktober dan awal November 2010 lalu. Pasalnya, tempat ini sekarang jadi dikunjungi banyak orang yang penasaran dengan kondisi wilayah yang terkena awan panas.

Jika sempat menyaksikan di televisi, di tempat itu pernah ada tangisan dan raut wajah ketakutan. Ada yang kehilangan keluarga, rumah, sapi, dan tentu saja kehidupan dan penghidupan mereka.

Sekarang suasana sudah lain. Tak ada lagi jerit pilu atau ketakutan, malahan raut wajah takjub dan decak kecil yang terdengar dari pengunjung yang datang mengunjungi Kecamatan Cangkringan. Mereka takjub menyaksikan dusun-dusun yang telah menjadi lautan abu-abu dengan puing-puing rumah dan batang pohon yang terbakar. Sementara Gunung Merapi menjadi latar belakang pemandangan tersebut. Gagah. Dan masih menyimpan misteri.

Di tahun 2006, wisata "Lava Tour" pernah menggeliat. Di tahun tersebut Merapi pernah meletus dan membuat kawasan Kaliadem di Kepuharjo, menjadi tak jauh berbeda dengan erupsi 2010. Seiring dengan membaiknya perekonomian masyarakat dan ekosistem di sekitar Merapi, kegiatan ini seolah terhenti. Namun, berangkat dari kebutuhan pemenuhan hidup akibat erupsi Merapi di 2010, wisata ini dihidupkan kembali dengan nama baru, Wisata Alam Erupsi Merapi 2010.

Jika hari cerah, Gunung Merapi tampak gagah sejak pengunjung mendekati dengan kawasan ini. Awan putih perlahan keluar dari puncaknya yang merekah. Sampai di Dusun Pangukrejo, sudah ada loket tiket untuk masuk ke Wisata Alam Erupsi Merapi 2010. Di sini, pengunjung harus membayar karcis retribusi sebesar Rp. 5000,- per orang, belum lagi yang membawa kendaraan, akan berbeda tarifnya. Dalam sehari minimal 1000 lembar tiket habis terjual.



Setelah melewati portal yang tepat berada di tugu dusun, maka sudah terhampar lautan debu dan pasir vulkanik lengkap dengan puing batang pohon dan rumah-rumah. Namun pengunjung tidak perlu susah untuk melihat yang mana rumah Mbah Marijan, atau penduduk lain. Sebab sudah ada pemandu yang siap sedia mengantarkan pengunjung berkeliling sampai puas.

Heri Haryanto misalnya, pemandu berusia 26 tahun ini adalah waga dusun Pangukrejo yang rumahnya tinggal fondasi saja. Sejak Merapi diturunkan statusnya menjadi siaga, ia pun siap sedia menjadi pemandu di kawasan ini. Dialah yang kemudian menunjukkan jalan ke rumah Mbah Marijan di Kinahrejo, juga rumahnya yang ia sendiri tidak tega meniliknya.

Heri tak sendiri, masih ada pemuda-pemudi tiga desa lainnya yang turut memanajemen Wisata Alam Erupsi Merapi 2010 ini. Mereka kemudian menempatkan diri pada tugas masing-masing. Ada yang menarik karcis retribusi, ada yang menjadi petugas parkir, dan ada yang menjadi seperti Heri, pemandu wisata.

Di tangan para pemuda ini, dalam sehari mereka memandu 4-5 kelompok dengan tarif Rp. 20.000,- untuk sekali tur. Misal ada orang ingin tur dengan fasilitas sepeda motor, maka tarifnya ditambah lagi menjadi Rp. 20.000,-, sekedar mengganti bensin.

“Banyak yang minta diantar ke rumah Mbah Marijan,” ungkap Heri sambil menunjuk rumah Mbah Marijan di dusun teratas, Kinahrejo, satu kilometer dari tempatnya berdiri.

Jika para pemuda mengelola tempat wisata tersebut, maka para ibu dan bapak kemudian menggelar dagangan untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung. Sukasmi misalnya, ibu 45 tahun ini berdagang makanan dan minuman ringan di kawasan ini. Oleh seseorang dia diberi modal berjualan, dan mau tidak mau dia terima juga.

“Biasanya saya mencari rumput untuk makan sapi, sekarang rumah sudah habis, sapi juga sudah mati semua. Dengan jualan ada pemasukan sedikit-sedikit,” katanya sambil menawarkan minuman botol.

Jumlah pengunjung pun melonjak. Dalam satu hari, "Lava Tour" ini bisa menghabiskan 1000 lembar tiket. Hasilnya, sebagian disetor ke Pemerintah Provinsi DIY, sementara sisanya dikumpulkan untuk kemudian dibagi rata pada seluruh warga terdampak langsung dan terdampak tidak langsung di Umbulharjo.

Ini memang sebuah ironi yang harus dihadapi oleh Heri dan Sukasmi. Masih banyak Heri dan Sukasmi lain yang mencari penghidupan seperti ini tanpa harus meminta. Meskipun di antara keterpaksaan mengandalkan tempat yang meninggalkan trauma dengan penghidupan yang merupakan mata pencaharian mereka yang telah hilang.(*)

*terima kasih atas atensi untuk tulisan ini :)

2 comments:

  1. siip.. saya juga baru pulang kampung ke Cangkringan, sekaligus melihat jejak merapi di sana

    ReplyDelete
  2. semoga livelihood di lereng Merapi segera pulih. amin. selamat datang di Jogja, Mbak Hilsya :)

    ReplyDelete