Tuesday, November 30, 2010

Bamain ka Simeulue

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer



Saya tidak menyangka menutup liburan tahun ini (2010) dengan 'pulang kampung' ke salah satu tempat di mana saya dibesarkan. Simeulue, Sinabang tepatnya. Sejak 1995 hingga 1999 saya tinggal, hidup dan bermain di sana. Setelah pindah, banyak yang sayang tinggalkan, teman dan tempat bermain.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jogja lagi, banyak yang bertanya di mana itu Simeulue. Saya jawab, 'kalau kamu lihat peta, lihat saja di atas Pulau Nias, ada Pulau Simeulue, dari sanalah saya'. Barulah mereka paham mana itu Pulau Simeulue, pulau di mana saya pernah dibesarkan dan banyak belajar.

Saya maklum kalau Simeulue tidak seterkenal Pulau Bali, atau Belitung akhir-akhir ini. Namun setelah smong (tsunami) di penghujung tahun 2004 dan gempa bumi tahun 2005, Simeulue mulai 'dilirik'. Tentu saja karena banyak lembaga baik itu pemerintah maupun non pemerintah, baik itu lokal maupun internasional, berbondong-bondong menyalurkan bantuan.

Ya, ya, ya. Sebelum saya pindah, setidaknya inilah ingatan masa kecil saya, Simeulue tidak sebagus sekarang ini. Bagus di sini adalah secara infrastruktur dan fasilitas.

Dulu tidak ada jalan aspal di depan rumah saya di Suka Karya, bahkan di seluruh pulau Simeulue belum ada. Sekarang jalan aspal sudah sampai di kampung-kampung, bahkan ada jalan lingkar Simeulue, sehingga tak usah lagi kembali melalui jalan yang sama untuk menuju tempat semula.

Dulu di depan rumah masih ada gunung, ada mata air untuk orang mandi. Sekarang banyak rumah dan tak seseram dulu lagi. Dulu juga belum ada rumah sakit yang megah di Jalan Baru, bahkan jalan itu sepi penduduk, hanya ada beberapa rumah saja. Bahkan mobil pun merupakan pemandangan yang jarang dilihat, kecuali milik pejabat.

Begitu pesatnya pembangunan Pulau Simeulue paska gempa dan smong, setidaknya begitulah yang diutarakan kawan saya di sana. (Wah! Jadi kalau tidak gempa atau smong, Simeulue enggak akan dilirik ya?)

Kemudian setelah infrastruktur mulai bagus, transportasi pun mulai lancar. Kalau dulu saya harus menunggu kapal feri untuk sampai ke Meulaboh, sekarang tinggal booking tiket Susi Air atau Smac untuk keluar/masuk Pulau Simeulue. Memang dulu sudah ada, tapi tidak sesering saat ini.

Saya pun tergiur untuk kembali lagi ke sana setelah Nora, sahabat saya di sana, berkunjung ke Jogja. Kebetulan lagi seorang sahabat saya, Fira, menikah. Lengkap sudah alasan saya untuk kembali lagi ke Simeulue. Mengingat yang dulu-dulu dan jalan-jalan di sepanjang pantai.

Dengan sedikit nekat dan uang pas-pasan, saya pun menjalankan niat saya untuk mengunjungi mereka. Untuk fasilitas transportasi, saya senang sekali sebab tak perlu susah lagi ke Simeulue.

Saya masih ingat ketika pertama kali ke pulau di sebelah barat Aceh itu, saya harus naik bis selama 3 hari 2 malam dari Palembang ke Medan, barulah dilanjutkan naik pesawat ke Sinabang. Untuk ke Jawa, saya pun harus menggunakan kapal feri menuju Meulaboh selama 8 jam, lanjut pakai travel Meulaboh ke Medan sektar 12 jam, kemudian Belawan, naik kapal ke Tanjung Priok 3 hari 2 malam, lalu kereta api dari Jakarta ke Jogja. Maklum saja, kami sekeluarga harus mengepres pengeluaran untuk travel.

Saya bersyukur dimudahkan banyaknya pesawat menuju Medan dari Jogja, dengan harga promo tentunya (sekitar 700-800rb). Juga pesawat Medan-Sinabang (sekitar 550-700rb) yang meski cukup mahal, namun frekuensi yang sering membuat mudah juga. Tak perlu berhari-hari di kapal atau bis, dari Jogja ke Sinabang atau sebaliknya. Sinabang saat ini hanya butuh satu hari itu pun karena harus transit dan ganti pesawat. Kalau tidak, mungkin hanya beberapa jam saja.

Dan ketika sampai di Lasikin (bandar udara di kota Sinabang), Nora, Fira, Mella, dan Lia, beserta anak-anak mereka, sudah menanti saya. Aih, merekalah yang selalu membuat saya ingin kembali lagi ke Simeulue. Juga balado Makwo, ibunda Nora, Mella, dan Lia, tentu saja. Kapan basuo lagi kito? Mudah-mudahan kito bisa basuo, tarui bamain lagi yo...

*) Smong adalah sebutan penduduk Simeulue untuk tsunami. Sebenarnya kata ini akan dipatenkan dalam bahasa Indonesia, tetapi belum juga terwujud hingga saat ini. Itulah sebabnya saya menggunakan kata 'smong' dalam tulisan ini.

4 comments:

  1. Wih jalan-jalan meneh :
    oleh oleh :D

    ReplyDelete
  2. ya ini oleh-olehnya,, kubawakan cerita dan gambar :)

    ReplyDelete
  3. kapan neh.... ke pulau ate fulawan lagi.... di tunggu kunjungan selanjutnya....

    ReplyDelete
  4. doakan sajo bang way,, mudah2an ado rejeki, ambo bisa bamain2 lagi mengunjungi munak sadonyo :) amiiiinn

    ReplyDelete