Tuesday, July 20, 2010

sartono, si pahlawan tanpa tanda jasa



Dengan mendadak, Mas Yus menelepon saya dan mengajak saya untuk bertemu dengan pencipta lagu hymne guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Saya sendiri belum memiliki bayangan sebelumnya, bahkan namanya saja saya tidak tahu. Sudah tiga puluh tahun ini lagunya diperdengarkan di sekolah-sekolah, dan dinyanyikan pada saat upacara. Tetapi, tahu tidak siapa yang menciptakan lagu hymne guru tersebut?

Dialah Sartono. Sartono namanya, tinggal di Madiun. Saya mengiyakan saja ketika diajak Mas Yus untuk bertemu dengan beliau, langsung paginya meluncur ke Madiun dari Jogja. Membayangkan apa saja yang mau saya tanyakan pada beliau. Lalu, apa kabar pak Sartono?

Rumah Pak Tono, sapaannya, berada di jantung kota Madiun, Jl. Halmahera tepatnya. Ketika sampai di rumahnya, Pak Tono sudah menyambut kami dengan ramah. Berusia 74 tahun, fisik Pak Tono bisa dibilang masih fit.

Saya dan beberapa kawan reporter lain, langsung saja menyusun kata-kata untuk bertanya tentang proses penciptaan lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang ia ciptakan tahun 1980 itu. Lagu tersebut diciptakannya untuk mengikuti lomba yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional, kala itu menterinya Daud Yusuf.

Pak Tono, bisa diajak berkomunikasi. Dia bisa mendengar dengan baik, bahkan dia bercerita dengan antusias dan penuh semangat. Tak lupa tertawanya yang membuat kami semua merasa diterima. Tetapi sejak tahun 2005, Pak Tono menderita Alzheimer atau pikun. Sehingga ketika ditanya inspirasi lagu hymne guru tersebut, ia pasti menjawabnya dengan hal lain.

Pertanyaan pun harus diulang lagi. Namun, ia menjawab dengan hal lain lagi. Begitu seterusnya, sampai kami harus bertanya pada adik istri Pak Tono, Bu Tiwi.

Banyak hal-hal yang dilupakan Pak Tono, apalagi tentang lagu-lagu yang pernah diciptakannya. Pak Tono dulunya adalah seorang guru musik di SMP Bernadus Surabaya, sehingga menciptakan lagu baginya cukup mudah.

Dari Bu Tiwi, diketahui bahwa lagu hymne guru terinspirasi dari teman istri Pak Tono yang seorang guru SD. Nasib guru pada saat itu memang tidak diperhatikan pemerintah, maka teman istri Pak Tono itu harus ngamen untuk tambah biaya keluarganya, ditambah lagi dengan istrinya yang stress berat karena masalah ekonomi. Dari situlah inspirasi lagu hymne guru tercipta.

Memang dulu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Meskipun telah mencerdaskan banyak anak-anak, namun kehidupannya sangat menderita. Bagaimana Pak Tono sendiri?

Pak Tono bahkan tidak pernah diangkat jadi PNS. Entah siapa yang salah di sini. Selama masa pensiunnya ini, kehidupannya ditopang oleh istrinya yang seorang guru SD. Tetapi pada beberapa waktu lagi, istrinya juga akan purna tugas. Hanya tinggal menikmati masa pensiun berdua dari uang pensiun, berdua saja, karena Pak Tono tidak memiliki keturunan.

Tidak banyak yang bisa saya korek dari Pak Tono, karena keadaannya tersebut. Jadi teringat seorang teman yang minta di-euthanasia jika ia menderita Alzheimer. Hanya ingat saja, tidak ada hubungannya dengan Pak Tono.

Berhubungan dengan keadaannya ini. Pada tahun 2007 lalu, rupanya pemerintah sudah melihat bahwa kalimat ‘pahlawan bangsa tanpa tanda jasa’ sudah tidak relevan lagi, karena saat ini nasib guru mulai diperhatikan dan makin banyak guru yang kreatif. Jadi pemerintah pun menggantinya dengan kalimat ‘pahlawan bangsa pembangun insan cendekia’. Karena Pak Tono pun sudah lupa dengan liriknya dan tanpa banyak komplain, maka ia dengan senang hati menandatangi persetujuan penggantian lirik.*

ps. Saya jadi mengerti kenapa teman saya ingin euthanasia saja daripada menderita Alzheimer.

No comments:

Post a Comment